APLIKASI SIG dan
PENGOPERASIAN ALAT TANGKAP DI KABUPATEN TAKALAR
DOSEN PENANGGUNGJAWAB :
Rusdi Leidonald, S.P,
M.Sc
OLEH
Johannes K Harianja
110302068

SISTEM
INFORMASI SUMBERDAYA PERAIRAN
MANAJEMEN
SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun sampaikan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan
makalah Sistem Informasi Sumberdaya Perairan ini.Makalah ini dibuat
sebagai landasan utama dalam membahas tentang “Aplikasi SIG Dalam
Sumberdaya Perairan Di Indonesia”. Dan untuk memenuhi satuan kredit semester (SKS)
dalamStrata Satu (S-1).
Penyusun sampaikan terima kasih
kepada Bapak Rusdi Leidonald, S.P, M.Sc sebagai dosen pengajar mata kuliah Sistem Informasi Sumberdaya
Perairan. Ucapan terima kasih juga penyusun sampaikan kepada rekan-rekan
mahasiswa yang telah banyak memberikan masukan untuk makalah ini.
Demikianlah makalah ini dibuat dan
semoga bermanfaat. Terima kasih.
Medan, April 2013
Penyusun
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kabupaten Takalar
merupakan salah satu
daerah penangkapan ikan terbang yang berada antara 5.3 0 -
5.33 0 derajat Lintang Selatan dan
antara 119.22 0- 118.39 0 derajat
Bujur Timur. Kabupaten
Takalar dengan ibukota
Pattalasang terletak 29 km arah selatan dari Kota Makassar ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayah
Kabupaten Takalar adalah
sekitar 566,51 km 2,
dimana 240,88 km2 diantaranya merupakan
wilayah pesisir dengan
panjang garis pantai
sekitar 74 km dan dengan luas pantai sekitar 246,99 km
2 atau 46,6% luas wilayahnya. Salah satu
hasil perikanan tangkap
yang ada di
Kabupaten Takalar adalah
ikan terbang.
Ikan
terbang ternasuk famili Exocoetidae dan merupakan komponen utama pelagis kecil indonesia, terutama
Sulawesi Selatan. Ikan
terbang memiliki wilayah
sebaran yang luas, sehingga ini
hampir diperoleh pada semua perairan tropik dan subtropik. Jaring insang (gill
net) merupakan alat tangkap yang prinsipnya menjerat dan membelit, insang pada
ikan, dan yang menjadi fishing ground adalah daerah pantai, teluk, dan
muara-muara yang mengakibatkan pula
jenis ikan yang
tertangkap berbagai jenis. Jaring
insang ini adalah
alat tangkap yang
paling efektif untuk menangkap ikan terbang. Alat ini dipakai secara luas di Propinsi Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah sampai ke
Maluku Tenggara. Sedangkan
bila menginginkan telurnya, nelayan Sulawesi Selatan menggunakan alat
tangkap bubu hanyut yang diberi daun kelapa untuk menarik ikan meletakkan
telurnya. Nelayan di Maluku Tenggara
menyediakan tempat bertelur
ikan terbang berupa
daun-daunan yang diapungkan dipermukaan air (Tambunan, 2005).
Produksi ikan terbang di Kabupaten Takalar pada tahun
2005 -2009 berada pada jumlah produksi yang relatif
tetap (± 1000
ton). Didasari oleh
hal tersbut maka
perlu diadakan penelitian untuk
mengetahui lokasi panangkapan ikan oleh nelayan dan juga jumlah hasil
tangkapannya untuk mengetahui lokasi penangkapan yang terbaik.
1.2 Tujuan
dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui
hubungan parameter oseanografi
dengan hasil tangkapan
ikan
terbang
(exocoetidae) di perairan Kabupaten Takalar.
2. Memetakan
daerah potensial penangkapan
ikan terbang (exocoitidae)
di
perairan
kabupaten takalar dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis.
Sedangkan kegunaan
dari penelitian ini sebagai
bahan informasi mengenai daerah potensial
untuk penangkapan ikan terbang
bagi pihak yang
berkepentingan dalam
pemanfaatan sumberdaya perikanan
khususnya ikan Terbang
di perairan Takalar.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan
Terbang
1. Klasifikasi
Menurut Parin
(1999) dalam Nurmawati
2007 ikan terbang
(Hirundichthys
oxycephalus)
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum : Chordata
Sub
Filum : Vertebrata
Ordo : Beloniformes
Famili : Exocoetidae
Genus : Cyselurus
Sub
Genus : Hirundichtys
Spesies
: Hirundichthys oxycephalus
2. Habitat
dan Penyebaran
Secara alamiah
habitat ikan terbang
hidup di perairan
yang jernih dan menghindari perairan yang keruh atau
berlumpur. Oleh karena itu, tingkat kehidupan dari ikan
terbang ini baik
secara langsung atau
tidak langsung sangat
dipengaruhi oleh kualitas lingkungan perairan (Tambunan, 2005 dalam
Dirhamsyah dkk, 2008).
Awal
penangkapan induk ikan
terbang yang menggunakan
jarring insang hanyut tidak
bersamaan dengan awal penangkapan telur
yang menggunakan bale- bale di Laut Flores.
Walau dalam bulan
januari kadang-kadang ada
beberapa nelayan yang telah
menangkap ikan terbang,
namun penangkapan intensif
induk ikan terbang dilakukan
mulai Februari-Juli. Berdasarkan
analisis data pendaratan ikan terbang di Topejawa,
Kabupaten Takalar pada periode 2002-2007 menunjukkan bahwa terdapat
dua puncak tangkapan
pada setiap musimnya.
Puncak pertama terjadi pada bulan
Februari sedangkan puncak tangkapan kedua terjadi pada bulan Mei sampai
dengan Juni pada
setiap musimnya dan
penangkaapan induk akan berakhir bulan Juli ketika populasi ikan
berada pada puncak pemijahan (Dirhamsyah dkk, 2008).
Berdasarkan pengamatan
di lapangan, di
Provinsi Sulawesi Barat
terdapat 2 lokasi penangkapan
baik untuk telur
maupun ikan terbangnya.
Berbeda dengan nelayan-nelayan Majene
dan Mamuju, nelayan-nelayan di
Kabupaten Polewali Mandar (POLMAN)
memfokuskan tangkapannya pada
telur dan ikan
terbangnya, namun lebih besar
titik beratnya pada
penangkapan telur ikan
terbang. Ikan terbangnya sebagai
sampingan saja. Secara
geografis nelayan-nelayan dari Kabupaten Pare-Pare
dan Barru melakukan
penangkapannya di wilayah
perairan Selat Makassar, sedangkan nelayan dari kabupaten Takalar lebih
banyak beroperasi di wilayah Laut Flores (Dirhamsyah, 2008).
2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis merupakan
sistem berbasis computer yang didesain untuk
mengumpulkan, mengelola, memanipulasi, dan
menampilkan informasi spasial
(keruangan)1. Yakni informasi yang mempunyai hubungan geometric dalam arti bahwa
informasi tersebut dapat
dihitung, diukur, dan
disajikan dalam sistem koordinat, dengan data berupa data
digital yang terdiri dari data posisi (data spasial) dan data
semantiknya (data atribut).
SIG dirancang untuk
mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis
suatu obyek dimana
lokasi geografis merupakan karakteristik yang
penting, dan memerlukan
analisis yang kritis.
Penanganan dan analisis data
berdasarkan lokasi geografis merupakan kunci utama SIG. Oleh karena itu data
yang digunakan dan
dianalisa dalam suatu
SIG berbentuk data
peta (spasial) yang terhubung langsung dengan data tabular yang
mendefinisikan bentuk geometri data spasial.
Misalnya apabila kita membuat
suatu theme atau
layer tertentu, maka secara otomatis layer tersebut akan memiliki data
tabular yang berisi informasi tentang bentuk datanya (point, line atau polygon)
yang berada dalam layer tersebut . (Aronoff, 1989).
1. Komponen Sistem Informasi Geografis
SIG
merupakan sistem yang
kompleks dan terintegrasi dengan
lingkungan sistem-sistem yanglain, baik fungsional maupun jaringan.
Komponen penting dalam SIG terbagi atas
5 komponen pelaksana,
perangkat keras, perangkat
lunak, prosedur dan data. Secara global kelima komponen tersebut dapat
disederhanakan menjadi tiga komponen yakni : sistem komputer (perangkat keras,
perangkat lunak, dan prosedur) dataa dan organisasi pelaksana (Eddy Prahasta, 2005).
2. Konsep Sistem Informasi Geografis
Sumber data untuk keperluan GIS
dapat berasal dari data citra, data lapangan, survei kelautan,
peta, sosial ekonomi
dan GPS. Selanjutnya
diolah dilaboratorium atau studio
GIS dengan software
tertentu sesuai dengan
kebutuhannya untuk menghasilkan produk
yang berupa informasi
yang berguna dapat
berupa peta konvensional maupun
peta digital sesuai keperluan
user, maka harus
ada input kebutuhan yang
diiinginkan user, dapat dilihat pada gambar berikut :

3. Keunggulan Sistem Informasi Geografis
Beberapa keuntungan
pengolahan data berbasis
komputer yang erat kaitannya dengan SIG (Salamun, 2001 dalam Hanapi, 2004) antarra
lain :
a) Penyimpanan data
(digital) lebih terjamin
dan mudah diatur dibanding penyimpanan data konvensional.
b) Penggunaan
data yang sama
(dari sekumpulan peta)
dapat dikurangi sebab data
digital punya basis
data ssehingga data
yang tersimpan dalam basis
data dapat digunakan
untuk berbagai keperluan dan
dalam aspek yang berbeda. Kualitas data digital grafis jauh lebih konsisten.
c) Pekerjaan revisi menjadi
lebih mudah (karena
dapat dilakukan cara terpisah) serta
cepat (karena basis
data digital mampu
menangani 10 data dalam jumlah
banyak). Produktivitas para
pelaksanan yang bekerja dalam
proses pengumpulan, pengelolaan
analisis dan distribusi data
akan bertambah.
d) Analisis,
pencarian dan penyajian
data menjadi lebih
mudah sebab SIG data mempunyai
klasifikasi yang jelas (bukan berdasarkan skala dan tema
saja). Dengan demikian akan
mudah mencari jawaban untuk hal-hal
seperti keterdekatan, ada
apa (daerah pertanian, permukiman), informasi
tentang potensi lahan
dan daerah mana yang
potensial dijadikan areal
pengembanagan kota dan sebagainya.
4. Hubungan Aplikasi SIG Untuk Zona Potensi
Penangkapan Ikan
Masalah yang umum dihadapi adalah
keberadaan daerah penangkapan ikan yang bersifat dinamis, selalu
berubah/berpindah mengikuti pergerakan ikan. Secara alami ikan akan memilih
habitat yang lebih sesuai,sedangkan habitat tersebut sangat dipengaruhi oleh
kondisi oseanografi perairan.
Dengan demikian daerah
potensi penangkapan ikan sangat
dipengaruhi oleh faktor
oseanografi perairan. Kegiatan penangkapan ikan
akan menjadi lebih
efisien dan efektif
apabila daerah penangkapan ikan
dapat diduga terlebih dahulu, sebelum armada penangkapan ikan berangkat dari
pangkalan. Salah satu
cara untuk mengetahui
daerah potensial penangkpan ikan
adalah melalui studi daerah penangkapan ikan dan hubungannya dengan fenomena
oseanografi secara berkelanjutan (Priyanti, 1999)Dengan menggunakan SIG,
gejala perubahan lingkungan
berdasarkan ruang dan
waktu dapat disajikan, tentunya
dengan dukungan berbagai
informasi data, baik
melalui 11 survey langsung maupun
dengar. Penginderaan Jarak
Jauh (INDERAJA). Proses perubahan lingkungan
perairan tersebut menjadi
studi dalam penentuan
"Daerah Penangkapan Ikan".
2.3 PARAMETER OSEANOGRAFI
1. Suhu
Suhu
adalah ukuran energi
gerakan molekul. Di
samudera, suhu bervariasi secara horizontal
sesuai garis lintang
dan juga secara
vertikal sesuai dengan kedalaman. Suhu merupakan salah satu
faktor yang penting dalam mengatur proses kehidupan dan
penyebaran organisme. Proses
kehidupan yang vital
yang secara kolektif disebut
metabolisme, hanya berfungsi
didalam kisaran suhu
yang relative sempit biasanya
antara 0-40°C, meskipun
demikian bebarapa beberapa
ganggang hijau biru mampu mentolerir suhu sampai 85°C. Selain itu, suhu juga sangat penting bagi kehidupan
organisme di perairan,
karena suhu mempengaruhi
baik aktivitas maupun perkembangbiakan dari
organisme tersebut. Oleh
karena itu, tidak
heran jika banyak dijumpai bermacam-macam jenis ikan yang terdapat di
berbagai tempat di dunia
yang mempunyai toleransi
tertentu terhadap suhu.
Ada yang mempunyai toleransi yang
besar terhadap perubahan
suhu, disebut bersifat
euryterm.
Sebaliknya ada
pula yang toleransinya
kecil, disebut bersifat
stenoterm. Sebagai contoh ikan
di daerah sub-tropis
dan kutub mampu
mentolerir suhu yang
rendah, sedangkan ikan di
daerah tropis menyukai
suhu yang hangat.
Suhu optimum dibutuhkan oleh
ikan untuk pertumbuhannya. Ikan
yang berada pada
suhu yang cocok, memiliki selera
makan yang lebih baik. (Nontji, 1993).
2. Arus
Arus
sangat mempengaruhi penyebaran
ikan, menyatakan hubungan
arus terhadap penyebaran ikan
adalah arus mengalihkan
telur-telur dan anak-anak
ikan petagis dan daerah
pemijahan ke daerah
pembesaran dan ke
tempat mencari makan. Migrasi
ikan-ikan dewasa disebabkan
arus, sebagai alat
orientasi ikan dan sebagai bentuk rute alami; tingkah laku
ikan dapat disebabkan arus, khususnya arus pasut, arus
secara langsung dapat
mempengaruhi distribusi ikan-ikan
dewasa dan secara tidak langsung
mempengaruhi pengelompokan makanan
Ikan bereaksi
secara langsung terhadap
perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh
arus dengan mengarahkan
dirinya secara langsung
pada arus. Arus tampak jelas
dalam organ mechanoreceptor yang terletak garis mendatar pada tubuh ikan.
Mechanoreceptor adalah reseptor
yang ada pada
organisme yang mampu memberikan
informasi perubahan mekanis
dalam lingkungan seperti gerakan, tegangan
atau tekanan. Biasanya
gerakan ikan selalu
mengarah menuju arus. (Nontji, 1993).
3. Kedalaman Perairan
Kedalaman perairan
sekitar 50-70 meter,
suhu perairan secara
alami merupakan lapisan hangat oleh karena mendapat radiasi matahari
pada siang hari, hal ini disebabkan
karena angin mengakibatkan
terjadinya pengadukan hingga lapisan tersebut mendapat suhu hangat
(28 C) yang homogen (Nontji, 1987).
Menurut Amiruddin (1987) dalam
Safruddin (2000) faktor kedalaman perairan tidak menunjukkan
pengaruh nyata terhadap
hasil tangkapan dan
secara parsial memberikan pengaruh
positif tidak nyata
terhadap hasil tangkapan
yang diperoleh pada kondisi
kecepatan arus dan suhu perairan konstan.
4. Salinitas
Salinitas adalah
kadar garam seluruh
zat yang larut
dalam 1.000 gram
air laut, dengan asumsi
bahwa seluruh karbonat
telah diubah menjadi
oksida, semua brom dan lod diganti dengan khlor yang setara dan semua zat organik menga1ami oksidasi sempuma
(). Salinitas mempunyai
peran penting dan
memiliki ikatan erat dengan
kehidupan organisme perairan
termasuk ikan, dimana
secara fisiologis salinitas
berkaitan erat dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut
Faktor
- faktor yang mempengaruhi salinitas :
1. Penguapan,
makin besar tingkat
penguapan air laut
di suatu wilayah, maka
salinitasnya tinggi dan
sebaliknya pada daerah
yang rendah tingkat penguapan
air lautnya, maka
daerah itu rendah
kadar garamnya.
2. Curah
hujan, makin besar/banyak
curah hujan di
suatu wilayah laut maka
salinitas air laut
itu akan rendah
dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun
salinitas akan tinggi.
3. Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di
laut tersebut, makin banyak sungai
yang bermuara ke
laut tersebut maka
salinitas laut tersebut akan
rendah, dan sebaliknya
makin sedikit sungai
yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan
tinggi.. (Nontji, 1987).
5.
Klorofil- a
Klorofil-a merupakan
salah satu parameter
yang sangat menentukan produktivitas primer
di laut. Sebaran
dan tinggi rendahnya
konsentrasi klorofil-a sangat
terkait dengan kondisi oseanografi fisika
suatu perairan. Sebaran klorofil-a di laut bervariasi
secara geografis maupun
berdasarkan kedalaman
perairan. Variasi tersebut diakibatkan
oleh perbedaan intensitas
cahaya matahari, dan
konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di Laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasi
pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran
konsentrasi klorofil-a di
perairan pantai dan
pesisir disebabkan karena adanya
suplai nutrien dalam
jumlah besar melalui
run-off dari daratan, sedangkan rendahnya
konsentrasi klorofil-a di
perairan lepas pantai
karena tidak adanya suplai
nutrien dari daratan secara langsung (Presetiahadi, 1994).
Nilai rata-rata kandungan klorofil
di perairan Indonesia sebesar 0,19 mg m
. Nilai rata-rata pada saat berlangsung musim timur (0,24 mg m ) menunjukkan nilai yang lebih besar
dibandingkan musim barat
(0,16 mg m
). Daerah-daerah dengan
nilai klorofil tinggi mempunyai hubungan erat dengan adanya proses
penaikan massa air (upwelling).
Dengan memperhatikan produktivitas
primer dari suatu
perairan maka potensial untuk
dijadikan lokasi penangkapan
dapat ditentukan karena
daerah tersebut akan menjadi
tempat yang disukai
oleh berbagai spesies
laut akibat terjadinya proses
rantai makanan (Nontji, 2002).
2.4
Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan Terbang
Pemanfaatan perkembangan
teknologi angkasa luar
(satelit) memberikan dampak yang
positif bagi pengelolaan
sumberdaya perairan. Salah
satunya adalah untuk memetakan
daerah penangkapan ikan terbang dengan bantuan GPS (Global Positioning System)
dengan menggunakan pendekatan parameter oseanografi yaitu salinitas, kedalaman,
suhu dan indeks klorifil-a suatu perairan. Beberapa keuntungan
yang dapat diperoleh
dengna menggunakaan SIG bagi
pengelolaan sumberdaya perairan
(Kam et.al., 1992
dalam Hanapi, 2004) diantaranya adalah mampu
mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, digital
dan analog) dari
berbagai sumber, selain
itu juga mampu
melakukan pemodelan,
pengujian dan perbandingan beberapa
alternatif kegiatan sebelum dilakukan aplikasi di lapangan.
Sistem pemetaan
yang biasanya dilakukan
dapat juga memanfaatkan bantuan penginderaan jauh
yang nantinya data
dari hasil analisa
citra digital dipetakan kedalam
format SIG. Salah
satu cara untuk
mengintegrasikan penginderaan jarak jauh dengan system SIG (Campbell,
1987 dalam Hanapi, 2004) yaitu data digital penginderaan jarak jauh dianalisais
dan diklasifikasi secara digital, hasil keluaran dari proses tersebut berupa
peta konvensional kemudian didigitasi ke dalam SIG.
2.5 Alat Tangkap
Menurut Dirhamsyah
(2008), penggunaan suatu
jenis alat tangkap
tidak hanya ditentukan oleh
jenis atau spesies
ikan yang akan
ditangkap, namun ditentukan juga
oleh kondisi geomorfologi serta kedalaman laut tempat menangkap spesies target.
Perairan Selat Makassar
dan Laut Flores
masuk dalam kategori perairan laut
dalam (lebih dari
2,000 meter), dengan
geomorfologi yang rata-rata curam (drop).
Kondisi ini menyebabkan
perairan Selat Makassar
didiami lebih banyak oleh
jenis-jenis ikan pelagis (ikan laut dalam). Oleh karena itu wajar bila alat- alat tangkap
yang dipergunakan oleh
nelayan-nelayan di sekitar
Selat Makassar lebih banyak
menggunakan gill net daripada pukat pantai atau bagan (Sturdy Stick) yang
dipergunakan untuk menangkap ikan-ikan domersal.
Kecuali untuk menangkap atau
mengambil telur ikan terbang, alat tangkap yang
dipergunakan untuk menangkap
ikan terbang adalah
jenis-jenis alat tangkap yang
sama dipergunakan untuk
menangkap ikan di
laut pada umumnya.
Namun pada umumnya nelayan
di Sulawesi mempergunakan
beberapa jenis jaring
insang (gill nets) untuk menangkap ikan terbang. Panjang rata-rata
berukuran lebar (tinggi) sekitar
1.5 meter dan
panjang berkisar antara
675 meter sampai
875 meter (25 sampai 32 pieces net).
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan tempat
Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan
April sampai Juli
2011 disekitar perairan Kabupaten
Takalar, dengan fishing
base Kecamatan Galesong Selatan,Desa Bonto Marannu, Dusun
Pa'bottoang.
3.2 Alat dan Bahan
Untuk melakukan
penelitian ini digunakan
alat dan bahan
antara lain Satu Unit Alat Tangkap Gill net, Global Positioning Sistem
(GPS) , Salinometer, Layangan arus , Seperangkat Komputer, Kamera Digital , Timbangan,
Seperangkat Komputer SPSS 15, Microsoft
Excel, Envi 4.7 , Etopo dan Arc View 3.3
3.3 Prosedur Penelitian
1.
Tahap persiapan
Tahap ini meliputi studi pendahuluan
yaitu studi literatur, observasi lapangan, konsultasi dengan
beberapa pihak utamanya
dosen pembimbing,pengambilan data sekunder, dan menyiapkan peralatan yang
digunakan dalam kegiatan.
2.
Tahap penentuan stasiun
Penentuan stasiun dilakukan
berdasarkan titik daerah penangkapan nelayan, dengan berdasarkan
informasi daerah dan
musim penangkapan dari
nelayan setempat, agar daerah
yang diamati adalah
daerah tempat ikan
tertangkap. Melakukan
pengambilan titik stasiun
dengan menggunakan Global
Positioning System (GPS).
3.
Tahap pengambilan data
Tahap ini meliputi pengambilan data
terhadap parameter oseanografi sepeti suhu, arus,
salinitas dan kedalaman
serta hasil tangkapan
dengan melakukan pengukuran langsung
di lapangan. Pengambilan
data oceanografi ini
dilakukan dilakukan sebanyak 30
kali. Sedangkan untuk
kelengkapan data, digunakan
Peta Rupa Bumi (RBI) dalam mendukung penentuan stasiun.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Luas wilayah
Kabupaten Takalar mencapai
566,51 km² dan
luas perairanlaut mencapai
223,07 km dengan
rincian wilayah yakni
berada di 05,30º
- 05,38º Lintang Selatan
dan 119,02º -
119,39º Bujur Timur.Kabupaten Takalar
sendiri berbatasan dengan Kota
Makassar dan Kabupaten
Gowa pada sebelah
Utara, Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Gowa pada sebelah Timur, Laut
Flores pada sebelah Selatan, dan Selat Makassar pada sebelah Baratnya. Kecamatan Galesong
selatan merupakan kecamatan
yang terletak di sebelah
barat dari Kabupaten
Takalar,dimana sebagian besar
wilayahnya berbatasan langsung dengan lautan.Lokasi fishing base selama
penelitian berada di Desa
Bontomarannu Dusun Pa'bottoang.Umunya masyarakat
Dusun Pa'bottoang bermata pencaharian
sebagai nelayan, baik
nelayan
"Pattorani" maupun nelayan lainnya. Namun
sebagian besar dari
mereka adalah nelayan
penangkap ikan terbang atau biasa
disebu "Pa'puka".
4.2
Deskripsi Alat Tangkap
1.
Kapal Gill Net
Umumnya kapal
yang digunakan saat
penelitian terbuat dari
kayu damar. Ukuran kapal
itu sendiri bervariasi,
namun yang digunakan
saat penelitian adalah kapal Gill net dengan panjang (P) 17
meter, lebar kapal (L) 2,5 meter dengan tinggi kapal (D)
1,5 meter. Sebagai
tenaga penggerak di
gunakan mesin diesel
yang menggunakan solar sebagai
bahan bakar.
2.
Alat Tangkap Gill Net
Alat tangkap yang digunakan selama
penelitian adalah jaring insang (Gill net) dengan jenis
jaring insang hanyut
dengan panjang jaring jaring
mencapai 1200 meter dan
lebar 2 meter
terbuat dari monofilamen
dengan ukuran mata
jaring 1,5 inci. Pada jaring
insang (Gill net)
ini di gunakan
dua macam pelampung
yaitu pelampung utama dan pelampung tanda. Pelampung utama terbuat dari
bahan karet sendal tidak menyerap air
yang di pasang pada tali ris atas dengan jarak masing- masing antar
pelampung 30 cm. Sedangkan
pelampung tanda ada
dua buah yang terbuat dari
styrofoam berbentuk segi
empat bujur sangkar
yang di pasangi
tiang bendera yang berfungsi
sebagai tanda kemudian diikatan pada kedua ujung jaring. Sedangkan Pemberat yang digunakan
terbuat dari bahan Timah berbentuk
silindris
3.
Metode Pengoperasian
Alat
tangkap Gill net
yang digunakan selama
penelitian di operasikan
pada pagi atau siang hari. Pemberangkatan ke lokasi penangkapan
dilakukan pada pukul 02.00- 03.00 WITA. Biasanya menempuh waktu 5-6 jam dari Fishing
base ke daerah Fishing ground. Setelah
sampai di lokasi Fishing ground, maka dilakukan pencarian lokasi pemasangan
jaring dengan indikator
adanya ikan terbang
yang muncul ke permukaan.
Apabila punggawa telah
menentukan lokasi pemasangan
jaring maka jaring pun diturunkan
oleh ABK.
Adapun urutan operasi penangkapan
yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. jaring
diturunkan keperairan dimana
pada ujung jaring
telah diikat dengan pelampung tanda
dan bendera sementara
kapal tetap dalam
posisi terus berjalan dalam
kecepatan rendah.
b.
setelah seluruh jaring
telah di turunkan,
ujung jaring yang
juga diberi pelampung tanda
dan bendera diikatkan
pada haluan kapal
dan mesin kapal dimatikan selama ± 2- 3 jam.
c. tiap
jam, kapal mengecek
posisi keberadaan jaring
maupun ikan yang
telah terjerat.
d.
setelah memperkirakan ikan telah banyak terjerat maka jaring kemudian di tarik naik
ke atas kapal oleh dua (2) orang ABK dengan posisi kapal yang bergerak secara
perlahan menuju ujung jaring yang satunya.
e. setelah
jaring naik ke
atas kapal, hasil
tangkapan kemudian di
pisahkan dari alat tangkap oleh para ABK.
Berdasarkan hasil identifikasi di
peroleh bahwa hasil tangakapan dominan umumnya marga cheilopogon sp di
antaranya adalah C poecilopterus.
4.
Musim Penangkapan
Penangkapan ikan
terbang di kabupaten
Takalar khususnya di
Dusun Pa'bottoang dilakukan dari
bulan februari sampai
bulan juli (musim
barat), sedangkan dari bulan
agustus sampai bulan
desember (musim timur)
digunakan nelayan untuk beristirahat dan memperbaiki kapal dan jaring,
ini dikarenakan angin yang kuat dan gelombang yang keras, sehingga tidak
memungkinkan nelayan untuk turun melaut.
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri
R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.
Pradya Paramita. Jakarta.
Dinas
Kelautan dan Perikanan Gorontalo. 2009. Laporan
Statistik Perikanan Provinsi Gorontalo. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi
Gorontalo.
Departemen
Pertanian. 1983. Prosiding Rakernas
Perikanan Tuna Cakalang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan,
Departemen Pertanian, Jakarta.
Hutabarat,
S Dan M.Evans. 1986. Pengantar
Oseonografi.Universitas Indonesia. Jakarta
James
L. And Sumich. 1992. An Introduction to
The Biology of Marine Life. Fifth Edition. Wm. C. Brown Publisher.
Nakamura,
H. 1991. Ditemukan Tujuh Jenis Ikan Tuna.
Dalam Bali Pos 12 April 1991. Hal 10
Nakamura.
H, 1969. Tuna Distribution and Migration.
Fishing News (books) Ltd. London. 76p.
Nikijuluw.
V.P.H. 2000. Rezim Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional. PT. Pustaka
Cidesindo. Jakarta.
Nontji,
A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Nontji,
A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta
Nybakken,
J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan
Ekologis. Gramedia. Jakarta
Paulus.
K, 1986. Penangkapan Cakalang dengan
Purse Seine. Diklat AUP Jakarta.
Prahasta,
E. 2004. Konsep-Konsep Dasar Sistem
Informasi Geografis. Penerbit Informatika. Bandung